Otodiva – Pemerintah Thailand tengah giat memberikan insentif untuk kendaraan listrik sebagai bagian dari upaya mendukung transisi energi bersih. Namun, langkah ambisius ini justru menimbulkan efek domino yang mengganggu berbagai sektor industri di negara tersebut. Dari kelebihan pasokan kendaraan listrik hingga dampak negatif pada produsen mobil konvensional, berikut adalah dampak dan pelajaran yang bisa diambil Indonesia dari situasi ini.
Menurut laporan dari Asia Nikkei, insentif besar-besaran yang diberikan Thailand untuk mobil listrik telah memicu sejumlah masalah. Salah satunya adalah kelebihan pasokan kendaraan listrik di pasar. Banyak pelaku industri di Thailand melaporkan bahwa lonjakan produksi mobil listrik yang disubsidi telah menyebabkan persaingan harga yang sengit antara mobil listrik dan mobil bermesin konvensional. Hal ini, pada gilirannya, mempengaruhi pabrik-pabrik mobil konvensional yang terpaksa mengurangi produksi dan bahkan menutup pabriknya. Selain itu, sejumlah produsen suku cadang otomotif juga mengalami kebangkrutan karena mereka tidak mendapatkan pesanan dari produsen kendaraan listrik.
“Penjualan mobil berbahan bakar fosil mengalami penurunan signifikan setelah subsidi kendaraan listrik diperkenalkan,” kata laporan Asia Nikkei. “Produsen mobil Jepang, yang memproduksi sekitar 90 persen kendaraan fosil di Thailand, adalah yang paling terkena dampak.”
Sementara itu, industri suku cadang juga terkena imbas, dengan setidaknya selusin produsen suku cadang terpaksa tutup. Ini terjadi karena produsen kendaraan listrik dari China, yang didorong oleh subsidi pemerintah Thailand, cenderung tidak membeli suku cadang dari produsen lokal.
Di sisi lain, Indonesia juga sedang dalam proses beralih ke era kendaraan listrik. Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan beberapa insentif, seperti pemotongan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 1 persen dan pembebasan bea masuk untuk mobil listrik dengan syarat tertentu. Meskipun demikian, harga mobil listrik di Indonesia masih jauh dari murah jika dibandingkan dengan Thailand.
Menurut Yannes Pasaribu, pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), kebijakan subsidi mobil listrik Thailand mirip dengan kebijakan di Norwegia, Jerman, dan Jepang. Yannes menjelaskan bahwa dampak dari kehadiran kendaraan listrik ini sudah diprediksi akan mempengaruhi berbagai sektor industri.
“Di Indonesia, diskusi mengenai dampak kendaraan listrik sudah dimulai sejak dua tahun lalu, khususnya di kalangan perakit dan industri pemasok komponen,” ujar Yannes. “Sekitar 45 persen industri komponen, terutama yang memproduksi parts untuk mesin pembakaran internal, diperkirakan akan tutup secara bertahap.”
Thailand dikenal sebagai pusat produksi mobil Jepang di Asia Tenggara. Namun, Yannes menilai produsen Jepang di Thailand terlalu yakin dengan dominasi teknologi mesin pembakaran internal, yang kini mulai tergeser oleh kendaraan listrik. Subsidi mobil listrik yang lebih menguntungkan produsen China memicu ketegangan dalam hubungan Jepang-China di Thailand. Hal ini menyebabkan penurunan pangsa pasar dan keuntungan bagi produsen mobil Jepang, seperti terlihat dari penutupan pabrik perakitan Suzuki dan Subaru di Thailand.
Di Indonesia, situasi sejenis belum sepenuhnya terlihat. Yannes menilai kebijakan kendaraan listrik di Indonesia masih belum terintegrasi dengan baik antar-kementerian. “Upaya migrasi ke kendaraan listrik berbasis baterai di Indonesia masih terhambat oleh ketidakselarasan antara kementerian terkait,” jelas Yannes. “Selain itu, PDB per kapita Thailand yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia menunjukkan bahwa Thailand memiliki daya beli dan kemampuan konsumsi yang lebih baik, yang mendukung pertumbuhan kendaraan listrik mereka.”
Dengan kondisi ini, Yannes menyarankan agar produsen otomotif dan pemasok komponen lokal di Indonesia harus beradaptasi. Salah satu solusi yang diusulkan adalah mengembangkan komponen yang kompatibel dengan bahan bakar terbarukan atau biofuel, sebagai upaya untuk menghadapi potensi dampak negatif dari kebijakan subsidi kendaraan listrik di masa depan.
Secara keseluruhan, meskipun subsidi kendaraan listrik di Thailand membawa dampak positif dalam hal adopsi teknologi hijau, efek sampingnya memberikan pelajaran penting bagi negara-negara lain seperti Indonesia. Kebijakan yang hati-hati dan terintegrasi dapat membantu mengurangi risiko dampak negatif yang mungkin timbul seiring dengan transisi ke kendaraan listrik.