雅加达, Otodiva – Pemerintah Indonesia tengah mematangkan rencana penerapan etanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) nasional. Wacana ini mencuat setelah Menteri Investasi Bahlil Lahadalia disebut telah memberikan lampu hijau terhadap kebijakan biofuel berbasis etanol, menyusul langkah serupa dalam program biodiesel. Meski belum diterapkan secara penuh, isu ini memicu respons luas di masyarakat, terutama pengguna kendaraan bermotor yang khawatir akan dampaknya terhadap mesin dan biaya operasional.

Bagi pemerintah, etanol dipandang sebagai solusi strategis jangka panjang: mengurangi ketergantungan impor BBM fosil, menekan emisi karbon, dan membuka peluang penguatan sektor pertanian lokal melalui komoditas tebu, singkong, atau jagung.

然而, di sisi lain, apakah infrastruktur dan produksi etanol nasional sudah siap? Data terakhir menunjukkan kapasitas produksi bioetanol masih terbatas, bahkan sebagian masih bergantung impor, yang menghadirkan keraguan bahwa kebijakan ini bisa membebani masyarakat, bukan meringankan.

Diskursus wacana etanol ini berkembang cepat, dipicu oleh keresahan publik terkait dugaan pencampuran etanol dalam beberapa jenis BBM. Pertamina telah membantah isu etanol pada Pertalite, namun mengakui adanya campuran rendah pada produk seperti Pertamax Green. Tanpa sosialisasi yang jelas, kekhawatiran publik tumbuh liar, terutama setelah beredar video masyarakat yang menguji BBM dengan air untuk menunjukkan perbedaan kandungan bahan.

也阅读: 全球 ADAS 渗透率达到 94% 在 2035, 中国是主要驱动力

Potensi Energi Bersih dan Kemandirian Bahan Bakar

Pemerintah berargumen bahwa etanol adalah bagian dari transisi energi menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. Dengan oktan tinggi dan sifat pembakaran yang lebih bersih, etanol dinilai mampu menurunkan emisi gas buang kendaraan. Negara seperti Brasil telah lama sukses menggunakan etanol dalam skala besar, bahkan menghadirkan kendaraan flex fuel yang sepenuhnya kompatibel. Indonesia disebut ingin mengikuti jalur serupa, dengan harapan menghasilkan industri biofuel yang menyejahterakan petani dan mengurangi impor minyak.

Dari sudut pandang lingkungan, etanol memang menawarkan keuntungan. Kandungan oksigen dalam etanol membuat pembakaran lebih efisien, berpotensi mengurangi polusi udara di kota besar. 除此之外, penggunaan biofuel dianggap bisa mengurangi defisit neraca perdagangan akibat impor BBM yang selama ini membebani anggaran negara. Jika produksi etanol domestik berkembang, petani tebu dan singkong berpotensi mendapat pasar baru yang stabil, sebuah narasi positif yang kerap digaungkan pemerintah.

然而, tantangan utama terletak pada kesiapan industri nasional. Kapasitas produksi etanol Indonesia pada 2024 tercatat lebih dari 300 ribu kiloliter, tetapi realisasi hanya separuhnya. Jika kebijakan ini diterapkan tanpa kesiapan pasokan, Indonesia justru dapat bergantung pada impor etanol, menggantikan ketergantungan sebelumnya terhadap bensin. Pada titik itu, urgensi kemandirian energi akan kembali dipertanyakan.

Kekhawatiran Publik: Risiko Mesin dan Beban Konsumen

Berbeda dengan pandangan pemerintah, sebagian masyarakat menilai wacana etanol belum memiliki landasan yang matang di sektor pengguna. Kekhawatiran terbesar datang dari pengguna motor dan mobil harian, khususnya kendaraan lama yang masih menggunakan sistem karburator atau material yang belum tahan etanol. Etanol bersifat higroskopis, menarik air dan berpotensi menimbulkan karat atau kerusakan seal karet. Jika konsentrasi etanol tinggi, kendaraan bisa mengalami gejala mesin pincang, konsumsi BBM meningkat, hingga kerusakan injektor.

Produsen otomotif seperti Toyota menyatakan bahwa kandungan etanol rendah di kisaran 3–5 persen masih aman bagi mesin modern. 然而, tidak semua kendaraan di Indonesia masuk kategori tersebut. Mobil MPV lawas, motor bebek karbu, hingga kendaraan niaga ringan menjadi kelompok paling rentan. Tanpa regulasi teknis dan edukasi mekanis, risiko perbaikan dan servis justru akan dibebankan kepada masyarakat, bukan pabrikan.

Di luar teknis, respons emosional publik tak bisa diabaikan. Isu uji BBM dengan air yang viral menunjukkan minimnya kepercayaan konsumen terhadap transparansi kebijakan energi. Sebagian SPBU swasta bahkan dilaporkan menolak “base fuel” Pertamina karena kekhawatiran spesifikasi yang tidak jelas. Sementara Pertamina membantah sepenuhnya, situasi ini menunjukkan satu hal: kebijakan sebesar ini tidak bisa berjalan tanpa komunikasi publik yang terbuka.

Penerapan etanol dalam BBM mungkin menjadi langkah strategis dalam transisi energi Indonesia. Tetapi kebijakan semacam ini tidak bisa semata dikawal dari meja kementerian. Ia menyentuh jutaan pengguna jalan, dari pengemudi ojek daring hingga pemilik kendaraan keluarga. Momentum ini menjadi ujian: apakah pemerintah siap menghadirkan energi baru yang adil dan transparan, atau justru menambah beban kepada rakyat yang belum pulih dari kenaikan harga BBM sebelumnya.

Wacana etanol bukan persoalan teknis semata, melainkan soal kepercayaan. Jika pemerintah ingin melangkah ke era biofuel, publik berhak mendapatkan jawaban yang jelas: seberapa aman, seberapa efisien, dan siapa yang benar-benar diuntungkan?

分享.

otodiva.id的作者 & gizmologi.id | 汽油头 | 赛车怪胎

留下答复

Exit mobile version