Jakarta, OtoDiva – Wacana soal penggunaan sirine dan rotator kembali mencuat di ruang publik. Fenomena ini muncul setelah ramai gerakan “Setop Tot, Tot, Wuk, Wuk” yang digaungkan warganet, menyoroti kendaraan pejabat maupun pengawalan yang dianggap berlebihan di jalan raya. Publik menilai penggunaan fasilitas khusus tersebut kerap mengganggu kenyamanan pengguna jalan lain dan menimbulkan kesan bahwa pejabat mendapatkan keistimewaan yang tidak semestinya.
Isu ini semakin menguat seiring dengan sejumlah rekaman video yang beredar di media sosial, memperlihatkan mobil dinas maupun iring-iringan pejabat melintas menggunakan sirine tanpa alasan mendesak. Kondisi tersebut memantik perdebatan: di satu sisi ada kebutuhan efisiensi waktu dan protokol pengawalan, sementara di sisi lain muncul kritik soal kepatutan dan rasa keadilan di jalan raya.
Menyikapi hal itu, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengeluarkan imbauan resmi kepada pejabat negara. Ia menekankan pentingnya menghormati aturan perundang-undangan dan mengedepankan kepatutan dalam berkendara, baik saat menggunakan mobil dinas maupun saat mendapatkan pengawalan. Menurutnya, keberadaan sirine bukanlah alat untuk dipakai semena-mena.
Baca Juga: Penampakan Honda Winner R 2025, Motor Underbone dengan Desain ala Fireblade 1000RR
Ketegasan Pemerintah Soal Aturan

Dalam keterangan resminya, Prasetyo Hadi menegaskan bahwa pejabat negara harus menjadi contoh dalam berlalu lintas. Ia mengingatkan bahwa Presiden Prabowo Subianto sendiri dalam beberapa kesempatan memilih tidak menggunakan fasilitas sirine. Presiden bahkan disebut kerap ikut berhenti di lampu merah atau terjebak macet, kecuali jika ada kondisi mendesak. “Semangatnya adalah keteladanan. Kita ingin menunjukkan bahwa aturan berlaku untuk semua,” ujarnya.
Kementerian Sekretariat Negara juga telah mengeluarkan surat edaran agar seluruh pejabat menaati aturan terkait penggunaan sirine dan pengawalan. Surat tersebut menegaskan agar fasilitas hanya digunakan sesuai ketentuan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 135 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009. Pasal ini mengatur bahwa penggunaan sirine sah untuk kendaraan darurat seperti ambulans, mobil pemadam kebakaran, kendaraan jenazah, serta pengawalan tamu negara.
Langkah serupa diambil Kepolisian RI. Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri, Inspektur Jenderal Polisi Agus Suryonugroho, memutuskan membekukan sementara penggunaan sirine dan rotator di jalan raya. Meski begitu, pengawalan terhadap pejabat tertentu tetap dilakukan sesuai kebutuhan, hanya saja dengan pendekatan yang lebih proporsional tanpa mengutamakan bunyi sirine sebagai prioritas.
Respons Publik dan Tantangan Implementasi
Gerakan “Setop Tot, Tot, Wuk, Wuk” menjadi simbol protes masyarakat terhadap praktik penggunaan sirine yang dianggap berlebihan. Dukungan terhadap gerakan ini merefleksikan keresahan publik atas ketidakadilan di jalan raya. Bagi sebagian pengguna jalan, sirine pejabat sering kali dipandang bukan lagi sebagai instrumen keselamatan, melainkan simbol kesenjangan.
Di sisi lain, ada pula pandangan bahwa penggunaan sirine dalam situasi tertentu tetap diperlukan, terutama untuk alasan keamanan dan efektivitas mobilitas pejabat negara. Kehadiran pengawalan dinilai penting agar agenda kenegaraan berjalan lancar, terlebih di kota besar seperti Jakarta dengan lalu lintas yang padat. Dalam konteks ini, tantangannya adalah bagaimana menyeimbangkan kebutuhan protokoler dengan kepentingan umum.
Kedepannya, implementasi kebijakan ini akan menjadi ujian nyata. Pemerintah dan aparat penegak hukum dituntut konsisten dalam mengawasi penggunaan sirine di lapangan. Publik pun akan terus mengawasi apakah pejabat benar-benar memberi teladan atau justru kembali memanfaatkan fasilitas tersebut secara semena-mena. Pada akhirnya, isu sirine ini bukan hanya soal aturan, melainkan juga tentang kepercayaan dan rasa adil di ruang publik.