Kabar penghentian program insentif industri otomotif, termasuk untuk mobil listrik, mulai menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri. Pasalnya, kebijakan tersebut selama ini terbukti efektif menekan harga jual kendaraan listrik sekaligus mendorong minat masyarakat untuk beralih ke kendaraan ramah lingkungan. Jika insentif benar-benar dihentikan, penjualan mobil listrik pada tahun depan diprediksi akan mengalami perlambatan signifikan.
Selama beberapa tahun terakhir, tren kendaraan listrik di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang konsisten. Selain didorong oleh meningkatnya kesadaran akan isu lingkungan, faktor harga juga menjadi penentu utama. Di sinilah peran insentif pemerintah dinilai sangat krusial. Tanpa dukungan kebijakan fiskal, harga mobil listrik berpotensi kembali naik dan sulit dijangkau oleh konsumen menengah.
Head of PR & Government Relations PT BYD Motor Indonesia, Luther T. Panjaitan, menegaskan bahwa insentif terbukti membuat harga mobil listrik menjadi jauh lebih kompetitif. Dengan demikian, pasar kendaraan listrik dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan jika dibiarkan berjalan secara alami.
“Harus diakui, salah satu motor utama dari tren positif kendaraan listrik saat ini adalah insentif dan kebijakan yang ditetapkan pemerintah,” ujar Luther saat ditemui di Bogor, Kamis (11/12/2025).
Lebih lanjut, Luther menjelaskan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya berdampak pada konsumen, tetapi juga memberikan kepastian bagi produsen dan investor. Dengan adanya insentif, pelaku industri memiliki kepercayaan diri untuk meningkatkan kapasitas produksi, memperluas jaringan distribusi, hingga melakukan investasi jangka panjang di Indonesia.
Sebagai salah satu pemain besar di pasar kendaraan listrik, BYD mencatat penjualan yang cukup impresif sepanjang 2024. Hingga akhir tahun, perusahaan asal Tiongkok tersebut telah membukukan penjualan sekitar 47 ribu unit mobil listrik di Indonesia. Capaian tersebut, menurut Luther, tidak lepas dari dukungan insentif pemerintah yang membuat harga kendaraan listrik semakin terjangkau bagi masyarakat luas.
“Tanpa konsistensi kebijakan, kami kurang yakin tren pertumbuhan ini bisa berlanjut secepat sekarang. Karena itu, kami masih berharap insentif EV dapat diperpanjang,” tuturnya.
Ia menambahkan, di banyak negara lain, kebijakan insentif yang terbukti efektif justru tidak langsung dihentikan. Sebaliknya, pemerintah setempat biasanya melakukan evaluasi, lalu melanjutkan atau bahkan menyempurnakan kebijakan tersebut agar dampaknya terhadap perekonomian semakin optimal.
Jika berkaca pada praktik global, insentif kendaraan listrik sering kali dipertahankan dalam jangka menengah hingga pasar benar-benar matang. Hal ini dilakukan untuk menciptakan ekosistem industri yang kuat, mulai dari produsen kendaraan, pemasok komponen, hingga infrastruktur pendukung seperti stasiun pengisian daya.
“Di negara lain, ketika kebijakan ini menghasilkan pertumbuhan yang baik, justru dilakukan pengembangan lanjutan dan penyesuaian di sisi implementasi. Harapannya, industri otomotif bisa terus berkembang dan menarik lebih banyak investasi,” kata Luther.
Saat ini, pemerintah masih memberlakukan sejumlah insentif untuk industri otomotif, salah satunya adalah Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sebesar 10 persen untuk mobil listrik. Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12 Tahun 2025.
Namun demikian, insentif ini tidak berlaku untuk semua kendaraan listrik. Hanya mobil listrik produksi lokal dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) tertentu yang berhak mendapatkannya. Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah kendaraan tersebut diproduksi di dalam negeri dan memiliki TKDN minimal 40 persen.
Kebijakan berbasis TKDN ini sejatinya bertujuan untuk mendorong pertumbuhan industri lokal dan mengurangi ketergantungan pada impor. Meski demikian, pelaku industri menilai bahwa penghentian insentif secara menyeluruh dapat menimbulkan efek domino, mulai dari penurunan permintaan hingga tertundanya investasi baru.
Jika insentif benar-benar tidak dilanjutkan, konsumen diperkirakan akan kembali menunda pembelian mobil listrik karena selisih harga dengan kendaraan konvensional menjadi semakin besar. Akibatnya, target percepatan elektrifikasi kendaraan yang selama ini digaungkan pemerintah pun berisiko melambat.
Oleh karena itu, pelaku industri berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali keberlanjutan kebijakan insentif mobil listrik. Dengan transisi energi yang masih berada pada tahap awal, konsistensi kebijakan dinilai menjadi kunci agar pertumbuhan pasar kendaraan listrik tetap terjaga dan berkelanjutan di tahun-tahun mendatang.
