Jakarta, OtoDiva – Ferrari akhirnya siap memasuki era mobil listrik. Produsen mobil sport asal Italia ini dijadwalkan akan memperkenalkan mobil listrik pertamanya pada musim semi 2026, setelah sebelumnya hanya menunjukkan sebagian teknologi drivetrain di akhir tahun ini. Namun yang menarik, sebelum peluncuran itu terjadi, Ferrari kedapatan sedang “menguji” salah satu mobil listrik tercepat saat ini—dan bukan dari Eropa ataupun Amerika, melainkan dari Tiongkok.
Sebuah Xiaomi SU7 Ultra, sedan listrik performa tinggi milik raksasa teknologi asal Tiongkok, terlihat keluar dari markas besar Ferrari di Maranello, Italia. Tampilan warna kuning khas dengan garis ganda perak—yang identik dengan promosi resmi SU7 yang menegaskan bahwa mobil ini adalah unit resmi, bukan mobil pelanggan biasa. Pertemuan dua dunia ini membuka banyak spekulasi.
Jika biasanya pabrikan legendaris seperti Ferrari menjadi benchmark, maka kini justru mereka yang mempelajari mobil pesaing—dan faktanya, pesaing tersebut berasal dari negeri Tirai Bambu. Apa yang sebenarnya terjadi?
Baca Juga: Bos Toyota Pertimbangkan Jual Mobil Buatan AS ke Pasar Jepang
Ketertarikan Ferrari pada Performa SU7

Ferrari, seperti banyak produsen otomotif lain, sering kali membeli atau meminjam kendaraan kompetitor untuk tujuan riset dan benchmarking. Tapi jika lima tahun lalu seseorang menyebut Ferrari akan mempelajari mobil buatan Tiongkok, banyak yang mungkin akan menertawakannya. Sekarang, anggapan itu justru jadi kenyataan.
Xiaomi SU7 Ultra mencatatkan waktu tercepat di antara mobil listrik produksi massal di sirkuit Nürburgring—7 menit 4,957 detik, lebih cepat hampir 3 detik dari Porsche Taycan. Bahkan prototipe Ultra pernah mencatatkan waktu 6 menit 22 detik, hanya kalah dari mobil eksperimental seperti VW ID.R dan Porsche 919 Evo.
Dengan performa seperti itu, wajar bila Ferrari ingin memahami rahasia di balik pencapaian tersebut. SU7 Ultra menggunakan konfigurasi tiga motor listrik dengan output gabungan mencapai 1.526 hp, akselerasi 0–100 km/jam dalam 1,98 detik, dan kecepatan puncak 359 km/jam. Meski Ferrari dikenal dengan keahlian dalam handling dan dinamika berkendara, teknologi seperti manajemen panas baterai dan kestabilan daya saat melaju kencang mungkin menjadi perhatian utama mereka saat ini.
Dari Maranello ke Beijing

Fenomena ini menarik juga karena Xiaomi bukan sekadar pendatang baru, tapi raksasa teknologi yang ingin memperluas kerajaan bisnisnya ke sektor otomotif. Sang CEO, Lei Jun, juga diketahui sebagai penggemar Ferrari. Ia pernah terlihat mengemudikan Ferrari Purosangue merah, yang menandakan kekaguman pribadi pada merek Italia tersebut.
Sementara itu, Ferrari sendiri masih berhati-hati menyambut era elektrifikasi. Mobil listrik perdananya kabarnya hanya akan diproduksi terbatas, sebagai cara untuk “mendidik” pasar bahwa mobil Ferrari tanpa mesin pembakaran masih layak dibanggakan. Baru pada model EV kedua, yang memiliki wujud crossover, Ferrari akan menargetkan volume pasar lebih luas. Namun proyek ini ditunda hingga 2028 karena permintaan mobil listrik di segmen premium masih dianggap lemah, seperti dilaporkan Reuters.
Langkah Ferrari mengamati Xiaomi bisa ditafsirkan sebagai bentuk kesiapan menghadapi era baru—di mana teknologi, bukan hanya heritage, menjadi senjata utama. Di sisi lain, ini juga validasi bagi Xiaomi: produk otomotif mereka sudah cukup serius untuk diperhitungkan oleh pemain papan atas seperti Ferrari.
Menjaga Relevansi di Tengah Revolusi Teknologi
Masuknya pemain non-otomotif seperti Xiaomi ke industri mobil membawa angin segar sekaligus tantangan. Dengan sumber daya teknologi dan ekosistem digital yang luas, perusahaan seperti Xiaomi bisa menyematkan fitur-fitur pintar dan performa ekstrem yang mungkin tidak terpikirkan oleh produsen mobil tradisional.
Namun di sisi lain, nama besar seperti Ferrari tetap punya modal kuat—baik dari segi merek, loyalitas pelanggan, maupun keahlian dalam membangun kendaraan yang emosional dan prestisius. Mobil listrik Ferrari tentu akan dinilai bukan hanya dari angka performa, tapi juga dari bagaimana mobil tersebut membuat pengemudinya merasa “berjiwa kuda jingkrak.”
Yang jelas, langkah Ferrari memperhatikan Xiaomi SU7 menunjukkan bahwa dunia otomotif saat ini tidak lagi mengenal batas negara atau stereotip lama. Jika dulu mobil Tiongkok dianggap hanya meniru, sekarang mereka justru memimpin di beberapa aspek teknologi.
Ferrari mungkin masih merajai arena eksklusif supercar, tapi untuk tetap relevan di masa depan, mereka harus siap belajar—bahkan dari para penantang baru yang datang dari timur.